Haji Tanpa Pergi Ke Baitullah


Haji Tanpa Pergi Ke Baitullah - RABI’ bin Sulaiman al-Muradi rah adalah murid Imam Asy-Syafi’i, ia menulis kitabnya Al-umm Dab kitab Ushul Fiqih yang pertama di dunia yaitu Risalah Al-Jadidah. Rabi’ yang pertama kali menyebarkan Mahzhab Asy-Syafi’i.

Pada suati ketika Rabi’ bin Sulaiman berangkat haji bersama saudara laki-lakinya dan kafilah haji lainnya. Ketika tiba di Kufah, ia pergi ke pasar untuk membeli beberapa keperluan diperjalanan.

Di suatu jalan sepi, ia melihat sosok perempuan yang sangat miskin sedang memotong-motong daging bangkai keledai dan dengan tergesa-gesa perempuan itu memasukan daging bangkai tadi kedalam kantongnya.

Melihat perbuatan tidak lazim itu, Rabi’ mencurigai jangan-jangan daging bangkai itu akan dijual kepada orang lain. Lalu ia bertekad untuk mencegahnya, ia pun mengikuti perempuan tersebut dari belakang dengan sembunyi-sembunyi.

Terus menyusuri jalan sepi, kemudian ke pasar hingga akhirnya perempuan itu pergi ke rumah besar. Perempuan itu mengetuk pintu rumah yang besar itu, dan ada sahutan dari dalam setelah perempuan itu memberitahukan siapa dirinya kemudian keluar 4 gadis membukakan pintu, dengan cepat perempuan itu masuk dan memberikan kantong itu kepada gadis-gadis itu, lalu terdengarlah suara tangisan mereka.

Rabi’ terus memperhatikan mereka dari jauh. Jelas, tampak mereka sangat kelaparan kemudian Rabi’ mendekat dan mencoba mendengar perbincangan mereka dari dalam.

Terdengar samar-samar perempuan  tua berkata, “Ambilah daging ini, dan masaklah untuk makan kalian. Bersyukurlah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha kuasa diatas segalanya dan Dia berkuasa membolak-balikan hati manusia”.

Rabi’ mengintip kedalam, ternyata gadis-gadis itu memotong-motong daging dan memanggangnya. Setelah matang, merekapun mulai memakanya. Menyaksikan itu Rabi’ merasakan ngilu didalam hatinya dan gelisah tak terkira sehingga ia terpaksa berteriak kepada mereka, “Wahai, hamba-hamba Allah jangan kalian makan daging itu!”

“Hei siapa kamu?” teriak mereka terkejut.

“Aku pendatang dikota ini,” jawab Rabi’.

Wanita berteriak, “Hai orang asing! Apa yang engkau mau dari kami? Kami sedang dalam penderitaan yang cukup parah, sudah tiga tahun tidak ada seorang pun yang menolong kami, jadi apa yang kau inginkan dari kami?”.

Rabi’ menjawab, “Dalam agama apapun tidak dibenarkan memakan daging bangkai, kecuali sebagian orang majusi.”

Wanita menjawab, “Kami masih keturunan Rasulullah SAW. Ayah gadis-gadis ini adalah seorang sayid yang mulia.”

Dia berencana menikahkan gadis-gadisnya dengan laki-laki yang sederajat. Namun sebelum niatnya terlaksana dia meninggal dunia. Sejak itu harta yang dia tinggalkan untuk kami perlahan habis. “Kamu tahu, bahwa agama kita membolehkan memakan bangkai tapi dalam keadaan terpaksa hal itu dibolehkan, kami sudah empat hari tidak menemukan makanan apapun, sehingga kami sangat kelaparan. Yang ada hanyalah bangkai ini.”

Rabi’ sedih bukan kepalang dan menangis, bergegas pergi meninggalkan mereka. lalu, ia menemui saudaranya yang menemaninya haji. Rabi katakan padanya bahwa ia membatalkan ibadah hajinya.

Tentu saudaranya sangat kaget, dia menyarankan agar Rabi’ meneruskan perjalanan hajinya. Dia merayu Rabi’ dengan menyampaikan keutamaan-keutamaan ibadah haji dan ampunan dosa yang didapat bagi orang yang menunaikan ibadah haji.

Namun Rabi’ hanya diam dan langsung mengambil pakaian ihram serta barang-barangnya meninggalkan rombongan haji, ia langsung menuju ke pasar.

Ia membeli tepung sebanyak dua ratus dirham, pakaian seratus dirham dan beberapa barang lainnya, kemudian membawanya ke rumah wanita tersebut dengan menyisipkan uang selebihnya ke dalam tepung. Ketika ibu dan para gadis itu menerimanya, mereka langsung memanjatkan syukur kepada Allah.

Ibu itu berkata kepada Rabi, ”Wahai, ibnu Sulaiman, semoga Allah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu maupun yang akan datang, semoga Allah SWT memberimu pahala haji dan surga yang tinggi, Semoga Allah memberikanmu ganti yang lebih baik daripada apa yang kau berikan kepada kami dan engkau kelak akan mengetahuinya”.

Gadis pertama berkata, “Semoga Allah memberimu balasan yang lebih banyak daripada apa yang telah engkau berikan kepada kami”.

Gadis kedua berkata, “Semoga Allah memberimu balasan yang lebih banyak daripada yang telah engkau berikan kepada kami”.

Gadis ketiga berkata, “Semoga Allah membangkitkan mu pada hari kiamat bersama kakekku Rasulullah SAW.”

Dan gadis keempat berkata,“Ya Allah, orang yang memberi kami, maka berilah dia sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, dan ampunilah dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang”.

Setelah menunaikan semua itu, Rabi’ terpaksa tinggal di Kufah, sedangkan kafilah hajinya tetap meneruskan perjalananya menuju ke Baitullah. Ketika mereka kembali dari haji, Rabi’ menyambut mereka dengan harapan mereka akan mendoakannya degan keberkahan haji mereka.

Ketika pandangan mata Rabi’ melihat jamaah pertama yang tiba, ia merasa sedikit menyesal karena tidak jadi menunaikan haji. Ia sedih dan air matanya berlinang, ia menyambut mereka dan berkata,  “Semoga Allah menerima hajimu dan memberimu pahala atas semua yang telah engkau belanjakan disana”.

Salah seorang dari mereka berkata pada Rabi, “Hei apa yang engkau katakan?”

Rabi’ menjawab, “Itu adalah dia harapan dari seorang yang gagal mendapatkan rahmat untuk hadir dirumah-Nya”.

Temannya menjawab lagi “Aneh, siapa yang gagal berhaji? Bagaimana engkau menolak kehadiranmu sendiri disana? Bukankah engkau berkata sama kami ketika di Arafah? Engkau juga bersama-sama kami ketika jumrah? Bukankah engkau juga tawaf bersama-sama kami?”

Ia terdiam dan berpikir mungkin ini anugerah dari Allah SWT, ia duduk menunggu disitu, kemudian para haji yang lain tiba. Lalu, ia mendoakan seperti ia mendoakan haji sebelumnya. “Semoga Allah menerima hajimu dan memberimu pahala karena mujahadahmu dan hartamu yang telah digunakan di jalan-Nya.”

Mereka terkejut, mereka menyatakan bahwa Rab’I juga turut hadir bersama mereka di Arafah, di Mina dan tempat lainnya. Mereka sangat terkejut ketika Rabi’ mengingkarinya. Salah seorang dari mereka berkata,

“Wahai saudaraku, mengapa engkau mengingkarinya? Apakah maksud dari semua ini? Bukankah engkau bersama-sama kami di Mekah dan Madinah? Bahkan ketika di Madinah ketika kita keluar dari Babu Jibril, engkau menitipkan tas kepadaku karena orang berdesak-desakan disekitar kita.”

“Nah, sekarang ambillah tas uang mu ini”.

Orang itu menyerahkan sebuah tas hitam dan ditas itu ada tulisan “Siapa yang bermuamalah dengan Kami akan beruntung”.

Ia berkata, “Demi Allah, aku tidak pernah melihat tas uang ini seumur hidupku”.

Dengan penuh heran dan ragu ia terpaksa menerima tas itu, setelah shalat isya dan menyelesaikan wirid malamnya, ia merebahkan badannya sambil memikirkan kisah yang ganjil itu. ia telah hadir menunaikan haji, padahal ia sendiri tidak berangkat haji.

Sibuk memikirkan keganjilan tersebut, akhirnya ia pun tertidur dan bermimpi bertemu Rasulullah. Ia memberi salam kepada Rasulullah dan mencium tangannya. Dengan senyum yang cerah Rasulullah menjawab salamnya dan bersabda kepadanya, “Wahai Rabi’, berapa orang saksi lagi yang engkau kehendaki, sehingga engkau percaya bahwa engkau telah menunaikan ibadah haji? Namun, engkau belum mempercayainya. Dengarkanlah dengan kebaikan hatimu engkau telah membatalkan hajimu dan sebaliknya, biaya hajimu telah engkau berikan kepada wanita dari keturunanku. Maka ketika engkau memberikan perbekalanmu kepada mereka, aku berdoa kepada Allah agar menganugerahkan bagimu pahala yang lebih baik dan lebih menguntungkan sebagai gantinya. Kemudian Allah mengutus seorang malaikat menyerupaimu dan memerintahkannya agar berhaji untukmu setiap tahun, bahkan untuk selama-lamanya di dunia ini. Allah telah memberikan enam ratus uang mas sebagai ganti enam ratus dirham yang telah engkau belanjakan, siapa yang bermuamalah dengan Kami pasti beruntung”
(Republika.co.id)

Next

Related


EmoticonEmoticon